Tak Ada Ego di Jalur Trabas, Semua Saudara dan Harus Sama-Sama

By: Delisti Putri Utami | 17/04/2025
Tak Ada Ego di Jalur Trabas, Semua Saudara dan Harus Sama-Sama

VMXMedia.ID – Di balik hiruk pikuk adrenalin dan tantangan jalur ekstrem trabas, tersembunyi sebuah nilai luhur yang mengakar kuat: persaudaraan dan semangat egaliter. Lebih dari sekadar komunitas penggemar motor penggaruk tanah, para penghobi trabas menemukan ikatan batin yang melampaui merek motor, status sosial, bahkan batasan kompetisi. Di jalur yang sama-sama menantang, prinsip “Di Jalur Semua Sedulur” bukan sekadar jargon, melainkan sebuah filosofi hidup yang mereka junjung tinggi.

Semangat persaudaraan yang tak terbatas inilah yang menjadikan trabas tetap menggembirakan di tengah kelelahannya. Rasa aman yang dipancarkan komunitas trabas juga sukses ‘meracuni’ para pemula, membuat mereka ketagihan untuk terus mencari saudara dan keseimbangan hidup di jalur.

Fenomena persaudaraan ini bukan lahir tanpa sebab. Jejak historis trabas di Indonesia, yang bermula dari kreativitas akar rumput memodifikasi motor bebek menjadi “bektrail” atau “trail odong-odong” di akhir 1990-an, menjadi fondasi egalitarianisme ini. Seperti dilansir Kompas, Yanto, seorang veteran trabas yang telah 26 tahun malang melintang di jalur hutan, menjadi saksi bisu evolusi ini.

Dahulu, dengan motor seadanya dan ban aspal yang licin di medan berlumpur, jatuh bangun menjadi menu sehari-hari. Namun, justru di tengah kesulitan itu, tawa dan kebersamaan tumbuh subur. “Sajalur, salumpur, sadulur,” begitu Yanto merangkum esensi persaudaraan yang terjalin erat di antara mereka. Tidak ada ruang untuk baper, yang ada hanyalah kebebasan bercanda dan saling menguatkan di tengah tantangan alam.

Semangat gotong royong ini bukan sekadar basa-basi. Kondisi jalur yang seringkali mustahil ditaklukkan seorang diri memaksa para pegiat trabas untuk bahu-membahu. Ketika satu motor terjebak di lumpur atau mengalami kerusakan, anggota lain tanpa ragu memberikan bantuan. Gotong royong menjadi kunci, mengingat medan yang dilalui sering kali menuntut kerja sama tim untuk menaklukkan tantangan.

Rudi alias Raymond, seorang leader trabas di jalur Akasia, Parung Panjang, bahkan berkelakar bahwa mereka selalu siap “buka bengkel di jalur,” membawa kunci-kunci dan onderdil cadangan layaknya tim mekanik dadakan. Prinsipnya sederhana: masuk jalur bersama, keluar pun harus bersama. Motor kawan rusak? Jangan pernah ditinggalkan.

Kisah-kisah heroik di jalur trabas pun menjadi bumbu penyedap persaudaraan ini. Tak jarang para penghobi trabas ini seringkali menjadi malaikat penolong bagi rekan-rekannya yang mengalami kendala teknis di tengah hutan belantara. Kebiasaan membawa peralatan tempur lengkap—mulai dari kunci-kunci, tali derek, hingga “lem kapal” ajaib—telah menyelamatkan banyak petualangan yang nyaris kandas.

Seperti yang dilakukan oleh Dyan Isnomo, seorang penghobi trabas senior yang memulai petualangannya di awal 2000-a. nIa pernah menambal tangki bensin bocor di jalur terjal Cigudeg, bahkan meminjamkan aki motornya sendiri kepada seseorang yang terdampar di Hambalang. Lebih menakjubkan lagi, ia dua kali kehilangan dompet di jalur trabas, dan kedua kalinya pula dompet itu kembali utuh, bukti nyata integritas dan rasa memiliki yang kuat di antara komunitas ini.

Semboyan-semboyan yang lahir dari pengalaman pahit manis di jalur trabas pun menjadi mantra pemersatu. “Gas sak keselmu sedulur sak lawase,” “Satu jalur, satu lumpur, satu saudara,” dan “Apa pun motormu semua saudara” bukan sekadar tempelan di stiker atau sablon di kaos, melainkan representasi nilai-nilai yang mereka anut.

Atmosfer seperti inilah yang menjadikan trabas bukan sekadar olahraga yang menguras fisik, tetapi juga sebuah wadah untuk mencari saudara dan menyeimbangkan hidup. Bagi para pemula, semangat kekeluargaan ini memberikan rasa aman dan akhirnya membuat mereka “ketagihan” dengan sensasi menaklukkan alam bersama para saudara di jalur. Di dunia trabas, garis lumpur bukan lagi pemisah, melainkan justru pengikat persaudaraan yang kuat. (dpu)